Tuesday, October 20, 2009

Bimasakti Ternyata Semakin Ramping

Peneliti dari SDSS menggunakan data gerak bintang jauh untuk menentukan massa Bimasakti. Kredit Gambar : SDSS
Peneliti dari SDSS menggunakan data gerak bintang jauh untuk menentukan massa Bimasakti. Kredit Gambar : SDSS

Galaksi Bimasakti telah kehilangan bobotnya. Tidak tanggung-tanggung ia kehilangan sekitar triliunan Matahari. Yang pasti ini bukan karena Bimasakti sedang diet sehingga ia menjadi lebih langsing melainkan lebih kepada akurasi skala. Masalah bobot inilah yang jadi penemuan Sloan Digital Sky Survey (SDSS-II) yang akan membawa kita pada pemahaman baru mengenai Bimasakti.

Menurut Xiangxiang Xue dari National Astronomical Observatories of China yang memimpin tim internasional dalam penelitian ini, galaksi jauh lebih ramping dari yang diduga. Artinya terdapat lebih sedikit materi kelam dari yang diyakini sebelumnya, dan tampaknya Bimasakti jauh lebih efisien dam mengubah persediaan hidrogen dan heliumnya jadi bintang.

Penemuan Xue tersebut didasarkan pada data SEGUE (Sloan Extension for Galactic Understanding and Exploration), survey bintang di Bimasakti yang merupakan satu di antara 3 program milik SDSS-II. Dengan menggunakan pengukuran SEGUE terhadap kecepatan bintang di bagian terluar Bimasakti, pada area yang disebut halo bintang, para peneliti menentukan massa galaksi dari jumlah gravitasi yang dibutuhkan untuk membuat bintang tetap stabil pada orbitnya. Sebagian gravitasi berasal dari bintang di Bimasakti namun sebagian besar garvitasi justru berasal dari distribusi materi kelam.

Untuk melacak distribusi massa galaksi, team SEGUE menggunakan contoh dari 2400 bintang yang ada pada cabang horisontal biru (”blue horizontal branch”). Bintang di cabang tersebut bisa diketahui jaraknya dari kecerlangannya. Bintang pada cabang horisontal biru bisa terlihat pada jarang yang sangat jauh sehingga memungkinkan tim ini mengukur kecepatan bintang sampai dengan jarak 180000 tahun cahaya dari Matahari.

Hasil penelitian massa Bimasakti yang ada sebelumnya menggunakan beragam contoh dari 50 – 500 objek, dan ditemukan total massa galaksi Bimasakti mencapai 2 triliun massa Matahari. Berbeda dari hasil sebelumnya, penelitian dengan menggunakan pengukuran SDSS-II sampai jarak 180000 tahun cahaya justru mengkoreksi total massanya yakni berkurang sampai di bawah 1 triliun massa Matahari. Ukuran SEGUE yang besar memberi keuntungan, karena bisa dipilih set pelacak yang seragam dan sejumlah besar bintang yang ada bisa dipakai untuk mengkalibrasi metode yang digunakan dengan hasil simulasi.

Menurut kolaborator Timothy Beers dari Michigan State University, memang tidak mudah untuk menentukan massa total galaksi karena kita berada di dalam galaksi itu sendiri. Namun kita bisa mengetahuinya dari data yang ada jika kita ingin mengetahui dan memahami Bimasakti dan kemudian kita bisa membandingkannya dengan galaksi jauh yang bisa kita lihat dari luar.

Sumber : SDSS

Mengintip Pola Makan Lubang Hitam

Galaksi spiral M81. Kredit Gambar : X-ray: NASA/CXC/Wisconsin/D.Pooley and CfA/A.Zezas; Optical: NASA/ESA/CfA/A.Zezas; UV: NASA/JPL-Caltech/CfA/J.Huchra et al.; IR: NASA/JPL-Caltech/CfA
Galaksi spiral M81. Kredit Gambar : X-ray: NASA/CXC/Wisconsin/D.Pooley and CfA/A.Zezas; Optical: NASA/ESA/CfA/A.Zezas; UV: NASA/JPL-Caltech/CfA/J.Huchra et al.; IR: NASA/JPL-Caltech/CfA

Bagaimana sebuah lubang hitam raksasa makan? Ternyata pola makan lubang hitam terbesar bisa jadi sama saja dengan lubang hitam yang kecil. Tak percaya? Inilah data terbaru dari Chandra X-ray Observatory milik NASA dan teleskop landas bumi. Penemuan ini mendukung teori relativitas Einstein yang menyatakan lubang hitam dengan berbagai ukuran memiliki sifat yang mirip dan akan berguna dalam penentuan sifat konjektur kelas lubang hitam yang baru.

Kesimpulan tersebut dihasilkan setelah dilakukan perbandingan antara lubang hitam raksasa di galaksi spiral M81 dengan lubang hitam berukuran massa bintang.

Galaksi spiral M81, yang berada pada jarak 12 juta tahun cahaya dari bumi memiliki sebuah lubang hitam masif yang massanya 70 juta massa Matahari. Lubang hitam tersebut menghasilkan energi dan radiasi saat ia menarik gas pada area pusat galaksi ke arah dalam dengan kecepatan tinggi.

Di sisi lain, lubang hitam yang kecil yang massanya 10 kali massa Matahari, memiliki sumber makanan yang berbeda. Lubang hitam kecil ini memperoleh materi baru dengan menarik gas dar bintang pasangan yang sedang mengorbit. Ternyata lubang hitam besar dan kecil memiliki lingkungan yang berbeda dengan sumber materi makanan yang berbeda pula. Pertanyaannya, di mana letak kesamaan keduanya saat makan?

Dengan menggunakan hasil observasi terbaru dan detail teori yang ada, dilakukan perbandingan antara sifat lubang hitam di M81 dengan lubang hitam dengan massa bintang. Hasilnya, besar ataupun kecil, lubang hitam tampak makan dengan cara yang sama, dan menghasilkan distribusi yang mirip dari sinar X, cahaya optik dan cahaya radio.

Implikasi yang didapat dari teori relativitas umum milik Einstein dari kasus ini adalah, lubang hitam adalah objek sederhana. Hanya saja massa dan spin dari lubang hitam ini akan menentukan efek mereka dalam ruang-waktu. Riset terbaru mengindikasikan kalau kesederhanaan tersebut terlihat, meskipun berada dalam efek lingkungan yang kompleks. Dan hasilnya, didapat konfirmasi juga, jika pola makan dari lubang hitam dalam berbagai ukuran bisa sangat mirip.

Menurut Michael Nowak dari Massachusetts Institute of Technology, setelah melihat data yang ada ternyata model yang mereka miliki cocok, baik untuk lubang hitam raksasa di M81 maupun untuk lubang hitam lainnya yang kecil. Semua yang ada di sekeliling lubang hitam raksasa tampak sama dengan yang kecil, kecuali ukurannya yang 10 juta kali lebih besar.

Dan di antara lubang hitam yang sedang aktif untuk makan, lubang hitam di M81 merupakan salah satu yang paling redup. Diperkirakan hal ini terjadi karena ia masih kekurangan makanan. Namun, walaupun lubang hitam ini kurang makan, ia merupakan salah satu yang paling terang terlihat dari Bumi karena letaknya yang relatif dekat, sehingga hasil observasi dengan kualitas tinggi bisa didapat.

“Tampaknya lubang hitam yang kurang makan sangat sederhana dan praktis, mungkin karena kita bisa melihat ke lubang hitam itu lebih dekat,” kata Andrew Young dari University of Bristol di Inggris. Ia juga menyebutkan kalau lubang hitam tersebut tampaknya tidak terlalu peduli dari mana mereka mendapatkan makanannya.

Pekerjaan ini juga akan sangat berguna untuk menentukan sifat kelas ketiga yang belum dikonfirmasikan , yang disebut sebagai kelas massa menengah lubang hitam, dengan massa yang berada di antara batas massa bintang dan lubang hitam supermasif. Walau belum dikonfirmasikan, beberapa kandidat penghuni kelas ini sudah teridentifikasi, meskipun buktinya masih merupakan kontroversi. Dengan demikian, diharapkan melalui penemuan baru ini prediksi yang lebih spesifik bisa dilakukan dalam menentukan sifat kelas lubang hitam tersebut.

Pengamatan lubang hitam di galaksi spiral M81 dilakukan oleh Chandra X-ray Observatory, 3 teleskop radio (the Giant Meterwave Radio Telescope, the Very Large Array and the Very Long Baseline Array), 2 teleskop milimeter (the Plateau de Bure Interferometer and the Submillimeter Array) dan Lick Observatory. Pengamatan tersebut dilakukan secara simultan untuk memastikan perubahan cahaya yang terjadi sebagai akibat laju makan lubang hitam. Selain itu, Chandra merupakan satelit sinar-X satu-satunya yang dapat mengisolasi sinar X lemah milik lubang hitam dari emisi lainnya di galaksi tersebut.

Sumber :NASA’s Chandra Website

Samakah Hukum di Bumi dan di Galaksi Lain?

Pengujian hukum alam di galaksi jauh untuk melihat apakah hukum alam berlaku sama di semua tempat di alam semesta ini dan sama pada waktu yang berbeda pula. Kredit Gambar : Telescope: N. Junkes; Radio insets: A. Biggs; Intervening galaxy: NASA, ESA, STScI & W. Keel; Quasar: NASA, ESA, STScI & E. Beckwith
Pengujian hukum alam di galaksi jauh untuk melihat apakah hukum alam berlaku sama di semua tempat di alam semesta ini dan sama pada waktu yang berbeda pula. Kredit Gambar : Telescope: N. Junkes; Radio insets: A. Biggs; Intervening galaxy: NASA, ESA, STScI & W. Keel; Quasar: NASA, ESA, STScI & E. Beckwith

Hukum alam di seluruh penjuru alam semesta ternyata sama saja dengan yang ada di Bumi. Kesimpulan ini didapat oleh tim astronom yang melakukan penelitian, termasuk di dalamnya Chrisian Henkel dari Max Planck Institute for Radio Astronomy (MPIfR) di Bonn. Hasil penelitian mereka menunjukkan, angka perbandingan proton -elektron, hampir sama di Galaksi yang jaraknya 6 milyar tahun cahaya dengan yang ada di laboratorium di Bumi, yakni mendekati 1836,15

Menurut Michael Murphy, astrofisikawan dari Swinburne, penemuan ini sangat penting karena sampai saat ini masih terjadi perdebatan apakah hukum alam akan berubah pada waktu dan tempat yang berbeda di alam semesta ini. Dengan adanya penelitian ini, bisa terbukti, hukum alam di Galaksi jauh ternyata sama degan hukum alam di Bumi.

Bagaimana kesimpulan ini bisa didapat? Para astronom melakukan penentuan rasio massa proton-elektron itu dengan melihat kembali ke masa lalu pada quasar jauh, B0218+367. Cahaya quasar tersebut ternyata membutuhkan waktu 7,5 milyar tahun untuk mencapai kita, dan sebagian cahaya tersebut juga telah diserap oleh gas amonia galaksi yang ia lewati.

Amonia yang dalam kehidupan sehari-hari kita kenal berguna untuk membersihkan toilet, ternyata merupakan molekul ideal untuk menguji pemahaman fisika di alam semesta. Observasi spektroskopi terhadap molekul amonia dilakukan dengan teleskop radio Effelsberg 100 meter pada panjang gelombang 2 cm (pergeseran merah 1,3 cm dari panjang gelombang asal). Panjang gelombang di mana amonia menyerap energi radio dari quasar ternyata menunjukan sensitivitas pada angka fisika nuklir, yakni perbandingan massa proton-elektron.

Dengan melakukan perbandingan terhadap penyerapan yang dilakukan amonia dengan penyerapan dari molekul lain, didapatkan perbandingan massa proton-elektron di galaksi tersebut. Dan ternyata, perbandingannya sama dengan yang ada di Bumi.

Penelitian ini akan terus dilanjutkan dengan meneliti hukum alam di galaksi lainnya untuk waktu yang berbeda, sehingga akan tampak apakah hukum alam tersebut akan tetap bertahan di tempat-tempat yang baru tersebut. Dengan penelitian yang akan terus berlanjut ini, para peneliti berharap bisa menemukan jendela menuju dimensi lain di ruang angkasa, yang secara teoretis dinyatakan mungkin ada.

Sumber : Max Planck Institute for Radio Astronomy

Bahwa Alam Semesta Sudah Tua

Banyak cara yang berbeda satu sama lain digunakan untuk menjelaskan berapa umur semesta, dan walaupun berbagai metodologi itu dilakukan secara terpisah, tetapi memberikan gambaran yang berkesesuaian satu sama lain untuk menjelaskan umur semesta ini secara obyektif. Demikian dibawah ini akan diperkenalkan beberapa jalinan metode tersebut.

Umur Alam Semesta Yang Mengembang

Model alam semesta setelah ledakan besar. Kredit : NASA/WMAP Science Team
Model alam semesta setelah ledakan besar. Kredit : NASA/WMAP Science Team

Jarak galaksi dapat ditentukan dari ukuran yang tampak atau kecerlangannya. Galaksi yang tampak lebih kecil dan lebih redup dari galaksi lain yang serupa, berarti berjarak lebih jauh. Jarak juga bisa ditentukan menggunakan penanda jarak yang lain, seperti beberapa jenis bintang. Selain jarak, laju galaksi bergerak bisa dtentukan dengan pengetahuan spektrum-nya. (Spektrum cahaya dari galaksi adalah apabila kita memecah cahaya menjadi komponen warna-nya seperti pelangi). Dengan pengetahuan spektrum cahaya bisa memberikan identitas obyek apa yang diamati, maupun bagaimana obyek diamati bergerak, karena setiap spektrum obyek yang berbeda memberikan pola yang unik.

Christian Doppler di tahun 1842 menunjukkan bahwa ketika sumber cahaya bergerak, gerakan tersebut menyebabkan mengubah gelombang, mengubah warna yang dilihat pada spektrum. Efek ini dikenal sebagai efek Doppler. Pengetahuan tentang efek Doppler ini memberitahu kita apakah suatu sumber cahaya mendekati atau menjauhi kita. Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana benda-benda langit bergerak terhadap kita sebagai pengamat di Bumi, dan berapa cepat pergerakannya.

Di tahun 1920-an, Edwin Hubble menemukan bahwa galaksi – galaksi bergerak terhadap kita dengan pola tertentu. Semakin jauh galaksi dari kita, semakin cepat pergerakannya. Pola ini yang dikenal sebagai “alam semesta mengembang”, karena pola perilaku ini terlihat pada semua arah di langit. Jadi bisa saja dianggap bahwa semua galaksi bergerak menjauhi galaksi Bima Sakti, tetapi tidak bisa dikatakan begitu saja bahwa Bima Sakti sebagai pusat semesta, karena pola yang sama bisa saja teramati oleh pengamat yang berada di galaksi yang lain. Jadi tidak serta merta disimpulkan dari pekerjaan Hubble bahwa kita berada pada pusat semesta atau kita berada pada posisi yang istimewa dalam semesta.

Kembali pada pengukuran pergeseran cahaya yang teramati, ahli astronomi mencoba mengukur berapa lama pengembangan telah terjadi. Jika diasumsikan bahwa semua galaksi berangkat dari titik awal yang sama, maka bisa dideduksi, berapa jauh yang telah ditempuh suatu galaksi dan berapa kecepatan tempuhnya, kemudian membagi jarak terhadap laju. Dengan menambahkan faktor – faktor fisis yang realistis seperti adanya pengaruh gravitasi, atau adanya inflasi alam semesta, umur semesta diperoleh antara 12 sampai 14 milyar tahun.

Umur Bintang Paling Tua
Bagaimana bintang bisa menyala? Bagaimana menentukan umurnya? Berapa lama bintang dapat menyala? Bintang (termasuk Matahari) dapat bersinar karena adanya proses termonuklir di dalamnya, yang berfungsi sebagai generator pembangkit energi, akibat perubahan hidrogen menjadi helium; akibat panas dan tekanan yang sangat intens dalam inti bintang, inti hidrogen ber-fusi menjadi inti helium dan energi yang terpancarkan. Proses fisis ini bisa digunakan untuk mengukur umur bintang.

Fisika nuklir bisa menjelaskan berapa banyak energi yang dihasilkan dari fusi setiap atom hidrogen. Diketahui berapa banyak hidrogen panas dalam inti bintang, dan berapa cepat bintang menggunakan energinya untuk bersinar. Dengan demikian bisa dihitung berapa lama bintang bersinar sebelum kehabisan seluruh bahan bakarnya. Jika bintang telah kehabisan hidrogen di intinya, bintang berubah menjadi ‘raksasa merah’. Ketika kita menemukan adanya bintang raksasa tersebut, bisa ditentukan massa awalnya, tenaga awalnya, dan kala hidupnya dapat ditentukan. Demikian setelah diukur berbagai bintang yang telah tua tersebut, diperoleh dari metode ini umur semesta berkisar antara 10 – 15 milyar tahun.

Umur Cahaya Dari Galaksi Terjauh
Sebagaimana yang telah diungkap tentang jarak dalam ‘tahun cahaya’, pengamatan memberikan informasi tentang galaksi yang sangat jauh, sehingga yang cahaya dikirimkan oleh galaksi tersebut butuh milyaran tahun untuk mencapai pengamat. Dari hal tersebut, sepertinya kita sedang menggunakan mesin waktu, ketika kita mengamati langit, kita mengamati peristiwa yang telah terjadi di waktu yang telah berlalu. Pengamatan dari Hubble Space Telescope memberikan jarak terjauh galaksi yang teramati mencapai 10 milyar tahun cahaya, dengan demikian paling tidak semesta kita ini telah berumur 10 milyar tahun.

Umur Komposisi Kimia
Setelah ledakan besar awal (big bang), semesta tersusun dari elemen – elemen paling sederhana, yaitu hidrogen dan helium. Galaksi yang sangat-sangat jauh merupakan bukti bahwa hal ini memang demikian adanya, karena memiliki komposisi hidrogen dan helium yang jauh lebih besar. Komposisi kimia yang lebih kompleks dari hidrogen dan helium terbentuk kemudian akibat reaksi nuklir dalam inti bintang, atau ketika bintang yang sangat masif berakhir nasibnya dalam ledakan besar (supernova). Di dalam supernova yang teramati, terdapat elemen kimia yang terbentuk setelah 10-20 milyar tahun.

Paling tidak ada empat metode yang saling independen dipergunakan untuk menentukan umur alam semesta, kendati tidak tepat sama, tetapi paling tidak menunjukkan adanya kesesuaian, umur semesta sudah lebih dari 10 milyar tahun. Dan semua astronom sependapat dan berkeyakinan, bahwa semesta, semua galaksi, bintang-bintang benar-benar sudah tua dan telah tercipta di suatu masa yang sangat lampau.

Kesabaran 16 Tahun Berbuah Monster di Jantung Bima Sakti

Area pusat galaksi Bima Sakti. Kredit : ESO
Area pusat galaksi Bima Sakti. Kredit : ESO

Setelah melakukan studi panjang selama 16 tahun menggunakan teleskop milik ESO, tim astronom dari Jerman berhasil memperlihatkan kondisi paling detil yang pernah ada dari area di sekitar jantung galaksi Bima Sakti – area dari monster menakutkan si lubang hitam supermasif. Penelitian ini mengungkap rahasia yang tersimpan di area tersebut melalui pemetaan orbit 28 bintang. Bahkan satu bintang di antaranya telah berhasil melakukan putaran penuh mengelilingi lubang hitam.

Pengamatan gerak 28 bintang yang mengorbit area pusat galaksi Bima Sakti, menunjukan keberadaan lubang hitam supermasif yang tengah mengintip kita dari balik debu antar bintang. Ia dikenal sebagai Sagittarius A (atau dikenal sebagai bintang Sagittarius A). Berbagai informasi termasuk bentuk istimewa bintang-bintang tersebut dan juga lubang hitam yang mengikat mereka berhasil dikuak.

Pusat galaksi merupakan laboratorium yang unik dimana kita bisa belajar proses-proses dasar gravitasi yang besar dan kuat, serta dinamika dan pembentukan bintang yang memiliki keterkaitan yang sangat besar dengan inti galaksi. Disinilah pabrik kelahiran bintang dan tempat berlabuh sang monseter menakutkan, lubang hitam supermasif. DI area ini jugalah kita bisa mempelajari lubang hitam dengan lebih mendetil.

Tapi untuk mengamati area ini tidaklah mudah. Pengamatan dalam panjang gelombang tampak tidak dapat menembus blokade yang dibuat oleh debu antar bintang yang mengisi galaksi. Pandangan kita ke jantung sang galaksi ini terhalang. Kemampuan teknologi menjadi tantangan untuk dapat mengintip apa yang terjadi di sana. Untuk itu, digunakanlah panjang gelombang infra merah untuk menembus blokade debu antar bintang tersebut. Dan bintang-bintang di area pusat galaksi kemudian dijadikan partikel penguji untuk mengungkap apa yang ada di sana. Bintang-bintang itu diamati geraknya selama mengorbit Sagittarius A.

Hasil yang diperoleh sangat berguna untuk memahami lubang hitam itu sendiri contohnya dalam hal massa dan jarak. Dan tampaknya 95% massa yang mempengaruhi gerak bintang tersebut adalah lubang hitam. Karena itu, kecil kemungkinan penyebabnya adalah karena materi kelam lain. Tak pelak, hasil ini menjadi bukti empirik keberadaan lubang hitam supermasif, yang diperlihatkan oleh bintang yang megorbit pusat galaksi. Dalam pengamatan, diketahui adanya konsentrasi massa yang besar sekitar 4 juta massa Matahari yang diyakini sebagai lubang hitam yang berada pada jarak 27000 tahun cahaya.

Dari ke-28 bintang yang diamati, 6 di antaranya mengorbit lubang hitam dalam sebuah piringan dan bintang-bintang pada area paling dalam memiliki orbit acak. Bintang S2 menjadi satu-satunya bintang yang berhasil mengelilingi pusat Bima Sakti periode 16 tahun tersebut.

Untuk membangun citra jantung Bima Sakti dan menghitung orbit bintang individu, tim ini mempelajari bintang-bintang tersebut selama 16 tahun, dimulai pada tahun 1992 menggunakan kamera SHARP yang dipasang di New Technology Telescope 3,5 meter milik ESO di Observatorium La Silla, Chille. Observasi lainnya dibuat pada tahun 2002 dengan 2 instrumen yang ada di Very Large Telescope (VLT).

Walau penelitian ini berhasil membuka lembaran baru bagi pembelajaran lubang hitam dan kondisi area pusat galaksi dalam tingkat akurasi yang tinggi, namun masih banyak misteri yang belum terkuak di sana. Apalagi bintang-bintang tersebut juga masih sangat muda untuk melakukan perjalanan jauh. Diduga, bintang-bintang ini terbentuk pada orbitnya saat ini dibawah pengaruh gaya pasang surut lubang hitam.

Di masa depan, berbagai rancangan penelitian lanjutan akan dilakukan untuk mengintip monster di jantung Bima Sakti itu. Salah satunya dengan menggunakan teknologi dengan resolusi sudut yang lebih tinggi.

Sumber : ESO

Penemuan Planet Extra-Galaktik Pertama

ak ada batas akhir bagi akal para astronom. Mungkin inilah yang bisa kita katakan tentang penemuan baru ini.
Perubahan yang membawa pada penemuan panet baru di Galaksi Andromeda. Kredit  :TR

Perubahan yang membawa pada penemuan panet baru di Galaksi Andromeda. Kredit :TR

Saat ini seperti yang kita ketahui, ada lebih dari 300 exoplanet yang telah ditemukan dengan laju penemuan yang semakin besar dari waktu ke waktu. Dari semua yag telah ditemukan, baru satu planet yang terlihat secara langsung, Lainnya ditemukan dari efek yang ditimbulkan planet pada bintang induknya, yakni dengan melihat pada perubahan keerlangan sang bintang saat planet melewatinya. Jika demikian, tentunya kita harus bisa melihat bintang tersebut. Dengan kata lain, pengamatan hanya bisa dilakukan pada area lokal yakni di Bima Sakti.

Setidaknya itulah yang dilakukan para astronom, sampai saat ini.

Tapi, tidak demikian bagi Gabriele Ingroso dari National Institute of Nuclear Physics, Italia, beserta rekan-rekannya. Bagi mereka, ada kok cara untuk menemukan planet di galaksi lain. Caranya adalah dengan memanfaatkan fenomena lensa mikro dimana gravitasi satu bintang memfokuskan cahaya dari objek yang jauh ke Bumi.

Keuntungannya, lensa mikro bekerja sangat baik untuk objek jauh, sehingga bisa dikatakan sangat ideal untuk perburuan planet di galaksi lain. Secara teori, sangat memungkinkan untuk melihat objek berukuran Bumi dengan cara ini. Namun kekurangannya adalah, lensa mikro ini relatif cepat, dimana kejadian berlangsung maksimal hanya beberapa hari. Ini tentunya membuat pengamatan jadi lebih sulit untuk diuji.

Sulit untuk bisa mengamati bintang tunggal bahkan planet, Namun sejauh ini, para astronom berhasil mengenali sejumlah bintang di Andromeda melalui cara ini. Selain itu perencanaan untuk mengamati lebih banyak bintang pun tinggal hanya selangkah lagi.

Tapi, di tengah semua perencanaan itu, ada sebuah berita baru.

Cahaya dari salah satu bintang di Andromeda menunjukan perubahan yang menjadi petunjuk keberadaan objek lain yang mengorbit si bintang.

 M31, Galaksi Andromeda. Kredit : Robert Gendler / APOD

M31, Galaksi Andromeda. Kredit : Robert Gendler / APOD

Dan hasil analisis Ingrossso dan rekan-rekannya menunjukan kalau objek tersebut memiliki massa sekitar 6 massa Jupiter. Objek ini sedang menuju ke area klasifikasi sebagai bintang katai coklat. Namun ia juga masih berada dalam area sebagai sebuah planet.

Jika ia adalah planet, maka inilah planet extra-galaktik yang pertama.

Sumber : Technology Review

Usia Transisi Galaksi Dalam Gumpalan

Apa yang terjadi pada usia transisi galaksi dan lubang hitam akhirnya diketahui. Hal ini tentunya tak lepas dari data baru yang dihasilkan Observatorium Sinar-X Chandra dan teleskop lainnya. Penemuan ini membantu manusia untuk menyingkap asal mula gumpalan gas raksasa yang diamati berada di sekitar galaksi muda.

Citra yang disusun dalam pengamatan gumpalan di SSA22. Kredit : X-ray NASA/CXC/Durham Univ./D.Alexander et al.; Optical NASA/ESA/STScI/IoA/S.Chapman et al.; Lyman-alpha Optical NAOJ/Subaru/Tohoku Univ./T.Hayashino et al.; Infrared NASA/JPL-Caltech/Durham Univ./J.Geach et al.

Citra yang disusun dalam pengamatan gumpalan di SSA22. Kredit : X-ray NASA/CXC/Durham Univ./D.Alexander et al.; Optical NASA/ESA/STScI/IoA/S.Chapman et al.; Lyman-alpha Optical NAOJ/Subaru/Tohoku Univ./T.Hayashino et al.; Infrared NASA/JPL-Caltech/Durham Univ./J.Geach et al.

Sekitar satu dekade lalu, astronom berhasil menemukan waduk gas hidrogen yang besar yang mereka namakan “blobs” (gumpalan) – saat melakukan survey galaksi-galaksi muda pada jarak yang jauh. Gumpalan ini bersinar sengat terang pada cahaya optik, namun sumber energi yang membuatnya bercahaya beserta asal muasal dan sifatnya masih belum dapat diketahui.

Pengamatan panjang yang dilakukan Chandra berhasil mengidentifikasi sumber energi tersebut untuk pertama kalinya. Data sinar-X menunjukkan sumber kekuatan dari struktur kolosal ini yakni berasal dari lubang hitam supermasif yang sedang bertumbuh dan sebagiannya tersembunyi di balik lapisan tebal debu dan gas. Kembang api dari pembentukan bintang di dalam galaksi juga tampak memegang peranan penting, dan ini disingkap oleh teleskop Spitzer dan teleskop landas bumi.

Selama 10 tahun misteri gumpalan ini terkubur dari pandangan manusia, namun kini Chandra membantu kita untuk bisa melihat rahasia tersembunyi itu. Menurut James Geach dari Universitas Durham di UK, mereka kini bisa memiliki argumen penting tentang aturan apa yang ada di dalam pembentukan galaksi dan lubang hitam.

Galaksi diyakini terbentuk saat gas mengalir ke arah dalam di bawah pengaruh gaya gravitasi dan kemudian mengalami pendinginan oleh radiasi. Proses akan berhenti saat gas dipanaskan oleh radiasi dan mengalir keluar dari galaksi dan lubang hitam. Blob atau gumpalan merupakan tahap pertama atau tahap kedua dari proses pembentukan itu.

Berdasarkan data baru dan argumen teoretik, Geach dan rekan-rekannya menunjukan pemanasan gas oleh lubang hitam supermasif yang sedang tumbuh dan ledakan dari pembentukan bintang, yang diduga justru memberi kekuatan pada gumpalan tersebut. Implikasinya, gumpalan ini merupakan representasi dari tahapan dimana galaksi dan lubang hitam akan mulai berpindah ke tahap pertumbuhan yang cepat sebagai akibat proses pemanasan. Tahap ini sangat penting dalam evolusi galaksi dan lubang hitam, dan sudah sejak lama para astronom berusaha untuk memahami prosesnya.

Para astronom berhasil melihat tanda dalam usia transisi dari galaksi dan lubang hitam di dalam gumpalan yang mendorong kembali gas dan mencegahnya untuk pertumbuhan lebih lanjut. Galaksi masif akan melalui tahapan ini atau mereka akan membentuk terlalu banyak bintang dan segera berakhir masa hidupnya.

Ilustrasi galaksi dalam gumpalan. kredit : NASA/CXC/M.Weiss

Ilustrasi galaksi dalam gumpalan. kredit : NASA/CXC/M.Weiss

Chandra, Spitzer dan teleskop lainnya melakukan pengamatan pada 29 gumpalan dalam satu area raksasa di langit yang dikenal sebagai SSA22. Gumpalan dengan jarak beberapa ratus ribu tahun cahaya ini terlihat saat alam semesta baru berusia 2 milyar tahun atau 15% dari usia saat ini

Dalam 5 blobs / gumpalan, Chandra mengungkapkan tanda lubang hitam supermasif yang sedang bertumbuh – sebuah sumber titik dengan pancaran sinar-X yang sangat cerlang. Lubang hitam raksasa ini diperkirakan berada pada pusat kebanyakan galaksi yang ada saat ini termasuk di Bima Sakti. Pada 3 blobs lainnya juga ditemukan bukti yang mengarah pada kemungkinan keberadaan lubang hitam. Selain itu, data Spitzer menunjukkan beberapa galaksi juga didominasi oleh jumlah pembentukan bintang yang cukup banyak. Radiasi dan aliran yang sangat kuat dari lubang hitam dan pembakaran pada pembentukan bintang jika dikalkulasi menunjukan adanya energi yang cukup besar untuk menyalakan gas hidrogen di dalam gumpalan tempat mereka berada.

Untuk kasus dimana tanda keberadaan lubang hitam tidak terdeteksi, gumpalannya jauh lebih redup. Penelitian ini tak hanya berhasil menjelaskan dari mana sumber energi gumpalan melainkan juga memberi arahan akan masa depannya. Dalam skenario pemanasan, gas di dalam gumpalan tidak akan mendigin untuk membentuk bintang melainkan akan ditambahkan pada gas panas yang ditemukan di antara galaksi. SSA22 sendiri akan dapat berevolusi menjadi kluster galaksi masif.

Di awal, gumpalan ini akan memberi makan galaksi-galaksi yang ada. Namun yang terlihat sekarang seperti sisa, sehingga untuk bisa mengungkap lebih jauh lagi para astronom harus menjelajah waktu ke belakang untuk menangkap galaksi dan lubang hitam saat mereka membentuk si gumpalan.

Sumber : Chandra, Eureka Alert

Hilangnya Dua Lengan Bimasakti

Selama beberapa dekade astronom telah dibutakan oleh penampakan Bimasakti. Kok bisa? Bimasakti tidaklah tampak seperti apa yang kita bayangkan dan digambarkan selama ini. Tak bisa disalahkan karena kita tinggal di dalamnya, dan tak pernah keluar untuk melihat bagaimana bentuknya.

Sebuah citra baru dari Teleskop Spitzer milik NASA mengalirkan sebuah kenyataan lain atas struktur Bimasakti. Dari citra tersebut diketahui bimasakti hanya memiliki 2 lengan spiral bukannya 4 lengan spiral seperti yang kita ketahui sebelumnya.

Spitzer memberikan sebuah titik awal yang baru untuk kembali berpikir dan menelaah struktur Bimasakti, kata Robert Benjamin dari University of Wisconsin, Whitewater. Revisi peta Bimasakti akan dilakukan ke seluruh dunia dan sama seperti seorang pelaut yang tengah mengembara di lautan di jaman dahulu, mereka juga selalu memperbaharui peta mereka.

Sejak tahun 1950, astronom telah membuat peta Bimasakti. Model awal Bimasakti dibuat berdasarkan observasi radio terhadap gas di dalam galaksi. Hasilnya adalah struktur spiral dengan 4 bintang utama yang membentuk lengan, yakni Norma, Scutum-Centaurus, Sagittarius dan Perseus. Di dalam Bimasakti, selain lengan terdapat juga pita gas dan debu pada bagian pusat galaksi. Matahari di dalam Bimasakti berada di area lengan sebagian yang dikenal dengan nama lengan Orion atau Orion Spur, yang terletak di antara lengan Sagittarius dan Perseus.

Selama bertahun-tahun, peta seluruh Galaksi dibuat hanya berdasarkan studi pada satu bagian dari galaksi atau hanya dari satu metode. Dan ketika model dari berbagai kelompok peneliti dibandingkan mereka tidak pernah setuju satu sama lainnya. Sama seperti orang buta yang menginterpretasikan gajah dari berbagai sisi yang berbeda. Itulah kita. Para peneliti melihat Bimasakti dari sisi yang berbeda sehingga ketika dipertemukan tentunya hasilnya pun berbeda.

Namun di era tahun 1990, large infrared sky surveys, membawa sebuah nuansa baru. Survey langit besar-besaran pada panjang gelombang inframerah membawa revisi besar-besaran pada model galaksi termasuk ditemukannya pita besar di tengah Bimasakti yang berisi bintang-bintang. Cahaya inframerah memang bisa menembus debu sehingga teleskop yang bisa melakukan pengamatan pada panjang gelombang inframerah bisa memiliki penglihatan yang lebih baik diantara pusat galaksi yang penuh debu dan ramai dengan berbagai objek.

Di tahun 2005, Benjamin dan rekan-rekannya menggunakan detektor inframerah Spitzer untuk mendapatkan informasi lebih detail pada pita Galaksi. Mereka menemukan pita yang terentang dari pusat Galaksi ke arah luar tersebut lebih luas dan lebih panjang dibanding yang diperkirakan sebelumnya.

Citra inframerah terbaru dari Bimasakti menunjukan galaksi ini terentang 130 derajat di sepanjang langit dan satu derajat merentang dari bidang galaksi menuju ke atas dan bawah. Mosaik ini terdiri dari 800 000 potret yang diambil dan terisi oleh lebih dari 110 juta bintang.

Mosaik 80000 citra Bimasakti yang membentuk citra utuh Galaksi Bimasakti. Kredit gambar: NASA Spitzer
Mosaik 80000 citra Bimasakti yang membentuk citra utuh Galaksi Bimasakti. Kredit gambar: NASA Spitzer

Benjamin juga mengembangkan piranti lunak yang bisa menghitung bintang, dan mengukur kerapatan bintang. Perhitungan yang ia lakukan pada lengan Scutum-Centaurus menunjukan peningkatan jumlah bintang dibanding yang seharunya ada di sebuah lengan spiral. Sementara pengukuran pada lengan Sagittarius dan Norma tidak menunjukan adanya peningkatan jumlah bintang. Pada lengan ke-4 yakni lengan Perseus yang menyelubungi bagian terluar Bimasakti tidak dapat dilihat dalam citra terbaru yang diambil Spitzer.

Penemuan ini menunjukan galaksi Bimasakti memiliki 2 lengan spiral utama, struktur umum galaksi dengan sebuah pita. Lengan utama itu adalah lengan Scutum-Centaurus dan Perseus, yang memiliki kerapatan terbesar dari bintang muda dan terang serta bintang tua seperti bintang raksasa merah. Dua lengan lainnya yakni lengan Sagittarius dan Norma dikategorikan sebagai lengan minor yang terdiri dari gas dan bintang-bintang muda. Menurut Benjamin, kedua lengan utama di Bimasakti tersebut terhubung dengan bagian terdekat dan terjauh dari pita utamanya. Dengan demikian lengan itu bisa disambung dengan pita utamanya seperti sedang memasang puzzle, sehingga untuk pertama kalinya bisa dipetakan struktur, posisi dan lebar lengan tersebut.

Penemuan sebelumnya dalam observasi inframerah memberi petunjuk mengenai kedua lengan tersebut. Namun hasilnya tidak begitu jelas karena posisi dan lebar lengan masih tidak dapat diketahui. Meskipun lengan galaksi tampak sebagai fitur yang lengkapp, namun pada kenyataannya bintang di dalamnya secara konstan terus bergerak keluar dan masuk di dalam lengan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pergerakan bintang-bintang tersebut saat mengorbit (mengitari) pusat galaksi.

Matahari pun sekali waktu akan berada pada lengan yang berbeda. Dan sejak ia terbentuk 4 milyar tahun yang lalu, Matahari telah mengelilingi galaksi ini sebanyak 16 kali.

Sumber : Spitzer Space Telescope

Massa Minimum Galaksi Jadi Titik Terang Mengenal Materi Kelam

Analisis cahaya dari sebuah galaksi redup yang mengorbit Bima Sakti, para peneliti dari UC Irvine berhasil menemukan massa minimum galaksi di alam semesta yakni hanya 10 juta kali massa Matahari. Massa sekecil ini diperkirakan merupakan komponen terkecil dari “komponen penyusun” materi misterius dan tak terlihat di alam semesta, yang kita kenal sebagai dark matter atau materi kelam. Bintang yang terbentuk dalam komponen penyusun tersebut akan berkumpul bersama dan kemudian menjadi galaksi.

Satelit galaksi pada jarak 500000 tahun cahaya dari Bima Sakti yang diteliti para peneliti dari UCI untuk memahami materi kelam. Kredit gambar : UCI
Satelit galaksi pada jarak 500000 tahun cahaya dari Bima Sakti yang diteliti para peneliti dari UCI untuk memahami materi kelam. Kredit gambar : UCI

Sampai saat ini para peneliti hanya mengetahui sedikit informasi dari komponen mikroskopik materi kelam, meskipun materi tersebut dipkerkirakan sebanyak 5/6 dari seluruh materi di alam semesta.

Dengan mengetahui massa minimum galaksi, maka sifat-sifat materi kelam akan dapat diketahui. Hal ini esensial dalam mempelajari bagaimana alam semesta dan kehidupan jadi seperti saat ini. Materi kelam dalam keberadaannya ikut mengendalikan pertumbuhan struktur alam semesta. Tanpa materi kelam, galaksi seperti Bima Sakti tak akan pernah ada. Gravitasi dari materi kelam inilah yang menarik materi normal dan menyebabkan terbentuknya galaksi. Diduga, galaksi kecil yang ada di alam semesta juga mengalami penyatuan sepanjang waktu dan membentuk galaksi seperti Bima Sakti.

Galaksi terkecil yang diketahui atau yang sering disebut galaksi katai, memiliki kecerlangan yang besar dari 1000 kali luminositas Matahari sampai dengan 10 juta luminositas Matahari. Setidaknya ada 22 dari galaksi katai yang diketahui mengorbit Bima Sakti. Para peneliti di UCI mempelejari 18 di antaranya menggunakan data dari Teleskop Keck di Hawaii dan Teleskop Magellan di Chile. Tujuan penelitian ini untuk menghitung massa galaksi katai tersebut. Analisa cahaya bintang di tiap galaksi memberikan informasi kecepatan gerak bintang dan dari kecepatan tersebut bisa diketahui massa galaksi.

Pada awalnya diharapkan galaksi yang diteliti memiliki variasi massa dengan galaksi paling terang memiliki massa terbesar dan galaksi redup merupakan galaksi yang massanya kecil. Namun ternyata seluruh galaksi katai tersebut memiliki massa yang sama, 10 juta massa Matahari. Penemuan ini menggunakan analogi dimana manusia yang memainka peran di dalam materi kelam.

Bayangkan jika kita adalah alien yang sedang terbang melintasi BUmi dan mencoba mengidentifikasi area penduduk dari konsentrasi cahaya di malam hari. Tentunya dari terangnya cahaya, kita akan memberi sebuah kesimpulan awal kalo ternyata Los Angeles lebih banyak penghuninya dari Mumbai. Sayangnya, dalam kasus galaksi katai ini, yang ditemukan justru lebih ekstrim, dan memiliki kepadatan penduduk yang sama yakni sekitar 10 juta.

Karena galaksi katai sebagian besar berisi materi kelam, maka bisa dikatakan perbandingan materi kelam dengan materi normal hampir sebesar 10 000 : 1. Massa minimum yang ditemukan ini mengungkap sifat dasar dari materi kelam. Penemuan ini membantu para peneliti untuk memahami partikel yang membentuk materi kelam dan menmberikan informasi bagaimana galaksi terbentuk.

Menurut para peneliti, kumpulan materi kelam bisa saja tidak memiliki bintang di dalamnya. Dan yang bisa dideteksi sampai saat ini hanyalah materi kelam yang di dalamnya terdapat bintang.

Sumber : University of California, Irvine

Mengungkap Rahasia Hanny’s Voorwerp

Observasi terbaru yang dilakukan dengan menggunakan radio teleskop akhirnya berhasil menyingkapkan sifat dari objek ganjil yang dikenal sebagai “Hanny’s voorwerp” (SDSS J094103.80+344334.2). Voorwerp ditemukan oleh Hanny van Arkel, seorang guru Belanda yang juga sukarelawan dari proyek “Galaxy Zoo”.

Saat melakukan studi terhadap ratusan citra, Hanny melihat keberadaan awan gas galaktik hijau yang tidak beraturan, pada jarak 60000 tahun cahaya dari galaksi terdekat, IC2497. Objek ini membuat para astronom mencari tahu selama setahun ini dan menemukan awan ini luar biasa besar dan gas yang ada di dalamnya berada pada kondisi panas yang ekstrim >15000 Celsius. Yang jadi paradoks, dalam awan ini tidak terdapat bintang.

Citra pengamatan voorwerp dan IC 2497. Kredit : ASTRON.nl
Citra pengamatan voorwerp dan IC 2497. Kredit : ASTRON.nl

Tim internasional yang dipimpin oleh Prof. Mike Garret (ASTRON/Leiden), dan juga Hanny van Arkel mengamati IC2497 dan Voorwerp dengan Westerbork Synthesis Radio Telescope (WSRT) dan e-VLBI array dimana WSRT juga turut berpartisipasi di dalamnya.

Citra yang dihasilkan dari data yang ada, menunjukan adanya semburan partikel berenergi tinggi yang dihasilkan oleh lubang hitam masif di pusat IC2497. Semburan tersebut tampak memancar dari lubang hitam dan kemudian menyapu bersih jalur yang dipenuhi medium antar bintang yang rapat di IC 2497 menuju Hanny’s Voorwerp”. Saluran yang bersih inilah yang membuat cahaya dari pancaran sinar optik dan ultraviolet yang terkait dengan lubang hitam bisa menguak sebagian kecil dari awan gas raksasa yang berada di sekeliling galaksi. Pancaran sinar optik dan ultraviolet memanaskan dan mengionisasi awan gas menciptakan fenomena yang dikenal sebgai Hanny’s Voorwerp.

Pertanyaan lain yang muncul adalah darimana semua gas hidrogen itu berasal? Ada bermacam-macam gas diluar sana dan observasi yang dilakukan WRST mendeteksi aliran besar gas yang membentang seluas ratusan ribu tahun cahaya. Menurut Dr. Gyula Józsa, salah satu anggota tim peneliti, massa total awan gas tersebut mencapai 50000 juta kali massa Matahari.

Pendapat lain datang dari Dr. Tom Osterloo. Ia mengaku pernah melihat fenomena ini sebelumnya. Ciri-ciri yang tampak merupakan ciri dari sistem yang saling berinteraksi. Pada sistem semacam ini diperkirakan gas muncul dari interaksi pasang surut antara IC 2497 dan galaksi lain beerapa ratus juta tahun lalu. Ia juga menyatakan bahwa aliran gas tersebut berhenti 300 ribu tahun cahaya ke arah barat IC 2497. Bukti yang ada saat ini mengarah pada kelompok galaksi yang sepertinya menadi tersangka terjadinya kecelakaan kosmik tersebut.

Penelitian pada voorwerp sendiri menunjukan banyak kemajuan dan di masa depan akan ada lebih banyak rahasia yang diungkapkan dari voorwerp.

Sumber : ASTRON

Air Terjauh di Galaksi Asing

Air ternyata tidak hanya dimiliki bumi. Komponen yang satu ini tersebar di alam semesta dalam berbagai bentuk, baik cair, padat, maupun gas. Pencarian air selalu menjadi hal yang menarik, karena air senantiasa diidentikkan dengan kehidupan. Nun jauh di salah satu sudut alam semesta, para astronom berhasil menemukan air terjauh yang pernah terlihat. Air tersebut berada di sebuah galaksi yang jaraknya lebih dari 11 milyar tahun cahaya dari Bumi. Sebelumnya, air paling jauh yang berhasil ditemukan berada di galaksi yang berjarak 7 milyar tahun cahaya dari Bumi.

Tanda keberadaan air berhasil ditemukan menggunakan teleskop radio raksasa berdiameter 100 meter di Effelsberg, Jerman, dan Very Large Array milik National Science Foundation di New Mexico.

Galaksi berair yang dikenal dengan nama MG J0414+0534, memiliki quasar — lubang hitam supermasif yang memancarkan cahaya yang sangat terang — di intinya. Pada area di dekat inti, molekul air bertindak sebagai maser (Microwave Amplification by Stimulation Emission of Radiation) yang sama kuat dengan laser, dan menguatkan gelombang radio pada frekuensi tertentu. Penemuan ini mengindikasikan keberadaan maser air raksasa lebih umum terdapat pada saat alam semesta dini dibanding sekarang. Pengamatan yang dilakukan sekarang berhasil melihat kondisi MG J0414+0534 saat alam semesta masih berusia 1/6 dari usia saat ini.

Pada galaksi yang jaraknya sangat jauh, bahkan penguatan gelombang radio terkuat yang dlakukan oleh maser tidak cukup kuat untuk bisa dideteksi teleskop radio. Namun, para ilmuwan justru mendapat bantuan dari alam dalam bentuk galaksi lain yang berjarak hampir 8 milyar tahun cahaya serta berada di garis pengamatan MG J0414+0534 dan Bumi. Gravitasi galaksi tersebut bertindak sebagai lensa yang membuat galaksi jauh lebih terang dan pancaran molekul air jadi tampak oleh teleskop radio.

Sinyal keberadaan air di jarak yang sangat jauh ini bisa diketahui dengan bantuan lensa gravitasi. Teleskop kosmik tersebut mereduksi waktu yang dibutuhkan untuk dapat mendeteksi air dalam faktor sekitar 1000.

Sinyal air pertama kali dideteksi oleh teleskop Effelsberg dan kemudian digunakan VLA untuk mempertajam kemampuan pencitraan yang bisa mengkonfirmasi asal galaksinya. Keberadaan lensa gravitasi memberikan 4 citra MG J0414+0534 yang terlihat dari Bumi. Dengan VLA, para peneliti bisa menemukan gelombang radio yang spesifik menyatakan keberadaan air pada 2 citra terang yang dihasilkan. Dua citra lainnya terlampau lemah untuk bisa dideteksi keberadaan sinyal airnya. Frekuensi yang dipancarkan molekul air merupakan pergeseran Doppler akibat pengembangan alam semesta dari 2,2 GHx – 6,1 GHz.

Air yang bertindak sebagai maser sudah ditemukan pada sejumlah galaksi yang jaraknya dekat. Biasanya, air diperkirakan berada dalam piringan molekul yang mengorbit lubang hitam supermasif pada jarak yang sangat dekat di inti galaksi. Pancaran gelombang radio yang mengalami penguatan biasanya akan teramati saat piringan tampak dari samping dan terlihat tepiannya. Namun, ternyata orientasi galaksi MG J0414+0534 saling berhadapan dengan Bumi. Dengan demikian, molekul air yang kita lihat dalam maser bukan di dalam piringan melainkan dalam materi yang terlontar sebagai akibat lontaran gravitasi lubang hitam yang diorbitnya. Materi yang terlontar tersebut bergerak dalam jet super cepat.

Kayu Baru Dalam Api Yang Hampir Padam

Astronom di Universitas Bonn berhasil mendapatkan hubungan antara lubang hitam di pusat gugus galaksi dan gas disekelilingnya, yang bertindak sebagai makanan.

Gugus Galaksi NGC507 dalam 3 panjang gelombang. kredit : R. Mittal, Bonn University, CXO, VLA

Gugus Galaksi NGC507 dalam 3 panjang gelombang. kredit : R. Mittal, Bonn University, CXO, VLA

Lubang hitam merupakan terminologi yang diberikan pada objek kosmik yang memiliki gaya gravitasu sangat kuat yang menarik semua yang ada disekelilingnya dengan cepat. Bahkan cahaya pun tak dapat lepas dari tarikannya. Fenomena ini memang diperkirakan bisa ditemui di pusat semua galaksi utama dan lubang hitam sendiri bervariasi dalam ukuran. Bisa dikatakan seperti petinju, lubang hitam juga memiliki kelas berat yang berbeda. Lubang hitam supermasif memiliki massa milyaran sampai jutaan kali lebih besar dari Matahari.

Si lubang hitam supermasif ini tak selalu aktif, melainkan sebagian besar lubang hitam justru “tampak menyala dan menjauh”,” kata Dr. Thomas H. Reiprich dari Argelander Institute for Astronomy di Bonn.

Dengan mempelajari radiasi di sekeliling lubang hitam, para astronom dapat menyimpulkan situasi makanan mereka. Radiasi diperoleh dari materi yang perlahan-lahan dihisap oleh lubang hitam. Makanan ini sepenuhnya diserap oleh benda kosmik yang begitu rakus dalam bentuk gas hidrogen.

Bagi lubang hitam, gas hanya cocok dimakan jika ia cukup dingin, sama seperti pola makan dalam kehidupan manusia. Partikel gas panas bergerak terlalu cepat bagi lubang hitam sehingga sulit bagi gas panas tersebut untuk berada cukup dekat sehingga bisa ditarik ke dalam lubang hitam.

Agar lubang hitam bisa makan, campuran gas yang ada harus lebih dahulu mendingin. Dan proses pendinginan ini memakan waktu yang berbeda-beda. Satu milyar tahun merupakan waktu terpendek berdasarkan standar kosmik untuk proses pendinginan tersebut. Lubang hitam di pusat gugus galaksi yang gasnya mendingin lebih cepat akan menerima gas berlimpah yang cocok untuk dimakan. Pada kondisi ini si lubang hitam akan jadi sangat aktif.

Gas Dingin Sebagai Bahan Bakar
Sebenarnya kondisi pusat lubang hitam di gugus galaksi yang aktif jika ada gas yang cukup banyak sudah dipostulatkan oleh para ilmuwan. Pada penelitian yang dikerjakan Thomas H. Reiprich dan rekan-rekannya, mereka memoles bukti yang ada. Jika penelitian awal mengidentifikasi porsi yang cukup tinggi untuk kasus tersebut, maka penelitian yang dilakukan Reiprich ini menunjukan prosentasenya bukan cuma 70% tapi bisa dinyatakan terjadi pada semua kasus.

Menurut Reiprich, seluruh gugus galaksi yang mendingin dengan cepat akan memiliki gas berlimpah di bagian dalamnya, menguatkan kembali lubang hitam supermasif. Seperti layaknya batang kayu yang dilemparkan ke dalam pembakaran kayu yang hampir padam. Dengan kata lain, lubang hitam akan benar-benar beraksi dengan baik jika ia berada dalam lingkungan yang tepat.

Sebagai bagian dari penelitian ini, para ilmuwan di Bonn juga melakukan pengukuran gelombang radio dari citra sinar-X lebih dari 60 gugus galaksi. Dari olah citra ini mereka bisa mengukur fenomena ini lebih dekat lagi dibanding penelitian sebelumnya. Dengan menggunakan sinar-X, para peneliti ini berhasil menentukan gugus galaksi mana saja yang di intinya terdapat gas yang bisa menjadi makanan bagi lubang hitam. Dan dari data radio, para peneliti di Bonn berhasil menganalisa aktivitas lubang hitam supermasif.

Sumber : Bonn University